Jumat, September 25, 2009
Lamunan Subuh di Kampung
"setanku yang cantik, kamu sedikit menggodaku.."
Dingin angin subuh menyelinap ke telingaku. Membuyarkan sketsa buram mimpi semalam. Dari dalam sebuah surau kecil, suara rendah adzan subuh memaksaku bangkit dan membasahi tubuh dengan tetesan air wudhu. Berat terasa menunaikan kewajiban pagi ini.
Seusai salam, pikiran melayang. Terbayang percakapan singkat semalam dengan seorang kawan. Dia adalah kawan lama yang kutemui dalam imaji.
"Apa kebebasan? Apa keadilan? Apa kemanusiaan? Bagaimana perjuangan cita-cita dan perut?"
Aku malas menjawab, karena memang topik itu sudah tak menarik lagi bagiku. Sudah kulupakan beberapa tahun yang lalu.
Lalu dia berujar lagi: "Apa negara? Apa pemimpin? Apa uang?"
Aku semakin muak dan ingin cepat-cepat mengakhiri perbincangan tak nyaman ini. Kucoba berdiri dan melangkah pergi, namun tangan kekarnya menarik bahuku sehingga aku kembali terhenyak duduk di bangku teras itu. Hampir saja tumpah emosiku seketika itu juga. Namun dengan tenang dia berujar: "Tenang, dengarkan aku sejenak..". Kutarik nafas panjang dan kucoba untuk berkompromi mendengar penjelasannya.
"Kebebasan, keadilan, kemanusiaan, perjuangan cita, negara, pemimpin, dan uang telah membuat manusia merasa benar atas apa yang diyakininya. Semua ingin menjadi tokoh sentral dalam kehidupan. Semua ingin menjadi pahlawan". Ujarnya penuh semangat.
Kemudian dia melanjutkan, "Sejak dunia ada, sudah jutaan bahkan berratus juta manusia mati sia-sia demi ego dan nafsu diri. Mereka berpikir mampu menguras lautan, tapi apa daya samudera begitu luas, dan akhirnya dia pun mati tenggelam".
Aku masih terdiam dan menghela nafas panjang.
"Kawan, saatnya kau berkompromi dengan dirimu. Hargai dia, senangkan dia, dan hiburlah dia. Injakkan kaki ke tanah, dan rasakan bahwa jalan di depan penuh ranjau dan bahaya. Jangan gegabah. Ada 2 pilihan: persenjatai diri dan terus melangkah hati-hati atau cari jalan lain. Tak ada salahnya mengalah pada diri sendiri bukan?"
Aku terkesima, aku takjub dengan ocehan singkatnya. Kucoba untuk mulai tersenyum dan mengapresianya dengan anggukan pelan.
Dia pun terbahak dan menyeringai padaku.
"Jangan terlalu sering bermain ke langit, karena bumi masih terlalu luas. Nikmati malam ini dan habiskan rokok itu. Semoga kau tenang.. Ha ha ha..", ujarnya sambil meludah dan berlalu dari pandanganku.
Aku tersentak ketika bunyi piring berdenting dari arah dapur. Kuselidik, ternyata ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Kurapikan sajadah, dan melangkah ke teras luar sembari berujar pelan, "Memang, kadang otak dan hati menyiksa manusia dengan semena-mena".
Kutarik nafas panjang dan kuludahkan segala isi mulutku. Pfiuuuuh... "Selamat pagi, dunia!"
Bang Jenggot,
Parak Kerakah Darussakinah, 25 September 2009.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar