Jumat, Februari 22, 2008
Gus Jarot (Sebuah Kisah Nyata)
Minggu / 4 Juni 2006, sungguh hari yang sangat melelahkan namun menyisakan sebuah pelajaran dan kenangan yang tak terlupakan.
Seperti biasanya, paska gempa bumi Yogyakarta (27/5/06) yang lalu, aku dan sahabat "mantap"ku Pak de Osama, punya kesibukan baru yaitu sebagai relawan lepas setiap harinya. (mumpung lagi nganggur lagi). Minggu pagi, setelah cuma bisa tidur 2 jam, kamipun langsung menuju TKP di dukuh Manggung, Kecamatan Sewon, Bantul.
Kali ini beda dengan hari-hari sebelumnya dimana biasanya cuma datang ke beberapa lokasi hanya sekedar mengantar logistik, namun mulai hari itu Pak De dan LM Psikologi-nya memutuskan untuk menetap di beberapa titik saja dan melakukan pembinaan mental terhadap masyarakat yang kebanyakan menderita penyakit Post Disaster Syndrome.
Kegiatan di Bantul berjalan lancar, masyarakat sudah mulai pulih dan bergotong royong membersihkan puing-puing, banyak relawan mulai dari tukang batu sampai tukang bangunan berdatangan dari Magelang ikut terjun langsung bersama masyarakat setempat. Sebuah pemandangan yang luar biasa dan membuatku bisa tersenyum lagi. Mereka sudah mulai bangkit untuk kembali melanjutkan hidup. Sementara itu, di sisi lain aku dan beberapa orang mahasiswa psikologi memberikan pembinaan kepada puluhan anak2 yang masih selamat di dukuh tsb.
Menjelang siang, kami mendapat tamu dari kumpulan mahasiswa Univ. Hang Tuah Surabaya yang kebetulan juga mendirikan posko di Daerah Wedi, Klaten. Setelah berbincang-bincang dan mengamati kondisi di sekitar Dukuh Manggung yang sangat kontras dengan kondisi di Wedi, mereka memohon bantuan kami untuk ikut membantu mereka untuk pemulihan mental dan psikologi masyarakat di sana.
Hal ini disambut baik oleh Pak de, sehingga kamipun (Aku, pak de dan Tila) meluncur ke Klaten. Sungguh ironis, memang benar apa yang disampaikan anak2 Hang Tuah tersebut, kondisi di Klaten sangat memprihatinkan. Masyarakat disana terkesan begitu terlena dengan semakin banyaknya bantuan yang mengalir. Mereka bahkan tidak sempat membersihkan puing2 bekas reruntuhan rumahnya sendiri, bahkan padi yang sudah menguning di sawah hanya dibiarkan saja. Mereka (mulai dari orang tua sampai anak2) cuma berjejeran di pinggir jalan dan meminta-minta sumbangan dari para relawan yang mondar-mandir di jalan kecamatan. Padahal, logistik yang disumbangkan para donatur dan Pemerintah menumpuk di Posko. Mereka terlena dengan dengan banyaknya bantuan yang datang, sehingga "lupa" untuk segera hidup secara normal kembali.
Mobil yang kukendaraipun akhirnya sampai di Pos Kopassus di Desa tsb. Posko yang dilengkapi dengan RS darurat tersebut terlihat begitu rapinya. Di ujung utara terlihat tumpukan logistik yang menggunung. Sungguh luar biasa perhatian masyarakat terhadap bencana ini. Kamipun turun dan berkenalan dengan sesama relawan. Diantara mereka yang membuatku terkesan adalah saat berkenalan dengan 2 orang manusia hebat; Kapten Sardono dan Mas Jarot (yang akhirnya kupanggil Gus Jarot).
Pertemuan dengan Gus Jarot
Di barak / tenda militer itu aku bertemu dengan beberapa orang relawan yang sudah terlihat letih namun dari mata-mata mereka aku menangkap sebuah semangat yang diiringi ketulusan untuk terus dapat memberikan segenap tenaga dan waktunya membantu para korban yang masih sangat membutuhkan pertolongan. Tanpa membuang-buang waktu kamipun langsung terlibat dalam diskusi hangat tentang strategi penanganan permasalahan pengungsi di daerah tersebut.
Ada sekitar 8 sampai 10 orang di sana (aku lupa jumlah pastinya). Selama perbincangan tersebut mataku terpaku pada sesosok tubuh manusia yang seolah-olah pernah kukenal sebelumnya, aku lupa dimana.
Seorang anak muda bertubuh besar dan tegap dengan bekas “codet” di wajahnya. Jarot, yah… Cak Jarot pada awalnya aku memanggilnya. Arek Jowo Timuran yang ketika ia bicara membuatku terdiam memikirkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kata-kata jalanan yang kasar khas jawa timuran dan cenderung “saru” namun tersimpan banyak makna didalamnya. Pada saat itu, batinku pun langsung berkata, dia bukan orang sembarangan. Setelah rapat dadakan itupun selesai, Pak De dan Tila pun langsung bergegas melakukan peninjauan ke daerah sekitar. Observasi, yah… Kalau tidak salah itu istilah yang mereka pakai. Dengan menggunakan sebuah motor pinjaman salah seorang relawan, mereka berduapun berlalu meninggalkanku di barak tersebut.
Sambil beristirahat, karena kecapekan mengemudikan mobil hampir 3 jam, tiba-tiba Cak Jarot pun datang menghampiriku. Tanpa basa-basi, sambil menyuguhkan sebatang rokok lintingan, diapun langsung memulai diskusi mengenai makna hidup dan kehidupan. Aku tak tahu mengapa ia memilihku sebagai lawan bicaranya. Biasanya aku selalu menghindari diskusi-diskusi seperti ini. Bukan apa-apa, aku hanya takut berbicara mengenai sesuatu yang diluar kuasaku. Bicara tentang hidup bagiku sangat erat relevansinya dengan berbicara tentang Tuhan dan Agama. Dan aku belum punya cukup ilmu tentang hal itu. Namun dengan gaya khasnya yang slengean dan ceplas-ceplos, Cak Jarot pun mengurai semua persepsinya tentang hidup dan kehidupan. Hampir satu jam kami berdua, namun aku hanya bisa diam dan menjadi seorang pendengar yang baik. Diam-diam aku mulai hanyut dengan semua paparannya. Paparan-paparan yang tak lazim dan belum pernah ku dengar sebelumnya. (sependek pengalaman hidupku, aku tlah bertemu dan berdiskusi dengan banyak manusia-manusia hebat dan populer). Tapi, kali ini memang berbeda.
Celotehan-celotehan yang diselingi dengan kepulan asap rokok lintingan itu seolah-olah menusuk jantungku dan membuat diriku semakin kecil di depannya. Ibarat seorang sufi atau bahkan seorang filosof , Cak Jarot terus meng”guru”iku… Mengikuti logika nya, aku diperlakukan seperti penumpang bus kota yang disupiri supir Batak, yang biasa menggasak saja di tikungan tajam dan tanjakan-tanjakan terjal di Sibolga sana. Aku merasa terbanting-banting, tersentak-sentak.
Dari keseluruhan diskusi itu (mungkin lebih tepat kusebut kuliah, karena aku hanya dalam posisi pendengar), aku terus menbatin, kalau seandainya ia kiai NU, ia pasti tergolong khorikul, adalah kiai yang menatap hidup lewat dimensi yang tak dilihat kiai lain. Orang akan menyapanya dengan sebutan "mbah". Mbah Jarot. Atau lebih kerennya, "gus". Gus Jarot.
Tanpa kusadari, air mataku pun mengalir. Teringat akan semua kelemahan dan kekhilafanku selama hidup. Bagi Jarot, dalam hidup usaha itu penting tapi juga tidak penting. Ia penting karena dalam hidup kita tak boleh cuma berpangku tangan. Tapi ia tak penting, usaha bukan di atas segala-galanya. Di atas itu ada takaran hidup lain.
Mungkin itu pemahaman Jarot tentang usaha manusia, sebab dia bahkan sering menggambarkan usaha manusia sebagai sebuah kesia-siaan. Sia-sia seperti - kata Bos BASIS, Sindhunata, yang terkenal itu - Ikhtiar anak bujang menguras samudra raya dengan tempurung bocor.
Akhirnya, Jarot kembali menegaskan. Hidup itu kepenak (enak) dan rileks sahaja. Hidup tak usah muluk-muluk. Tak usah "nggethu", sok serius. Tak usah "ndakik-ndakik", sok pemikir, sok filosofis. Pokoknya biasa saja.
Biarlah hidup menjadi hidup itu sendiri. Ia tidak minta ditafsirkan, tak menuntut dipahami. Ia cuma minta dilakoni, minta ditempuh.
Mungkin hidup harus menerima apa adanya. Diterima "ma" begitu saja, seperti paket dari pos. Lalu kiriman itu kita syukuri. Syukur biasa saja.
Kalau hidup mau di olah lebih lanjutpun boleh. Tapi jangan ngotot. Pendek kata, kalau dalam hidup kita mau "ngono" silahkan. Tapi "ojo ngoyo". Sebab, seperti diperlihatkan Jarot, satu-satunya kepastian hidup adalah ketidakpastian. Dan ini bukan perkara main-main.
Perbincanganpun terhenti sejenak karena kedatangan rombongan Pak De dan Tila yang sudah menyelesaikan tugas mereka berkeliling desa. Namun, perkenalan dengan Gus Jarot yang hanya beberapa jam tersebut, telah mengubah persepsiku tentang HIDUP selama ini. Terasa sia-sia 1/3 jatah waktu (merujuk pada usia Rasulullah) yang tlah kujalani ini. Tapi, aku bersyukur, lagi-lagi dalam kebimbangan aku menemukan banyak pelajaran berharga.
Terima kasih Gus! Hormatku untukmu...
"Bang Jenggot"
Jogjakarta
8 Juni 2006
(beberapa hari setelah Gempa besar meluluh-lantakkan DIY dan Jateng dan membunuh ribuan manusia di dalamnya)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar