Senin, Desember 01, 2008

Diversity, Globalisasi x Diskriminasi



Sebuah judul yang aneh dan terlihat tidak penting memang. Namun beberapa kejadianlah yang memaksa saya untuk menuangkan kegundahan ini ke dalam sebuah tulisan. Semoga tulisan ini hanyalah karena kesalahan tafsir dan kekurang-arifan saya saja dalam menilai.

Berawal dari sebuah kejadian lebih dari 2 tahun yang lalu, ketika saya bekerja di sebuah perusahaan multinasional di kawasan timur Pulau Sumatera. Sebuah perusahaan yang sebagian besar karyawannya adalah expatriat yang berasal lebih dari 20 suku bangsa di dalamnya. Dengan total karyawan yang hanya 450 orang, komposisi pribumi dan non pribumi sangat berimbang. Diversity, begitulah salah satu slogan dari budaya perusahaan tersebut. Menurut kamus Bahasa, diversity dalam Bahasa Indonesia berarti keberagaman. Keberagaman yang diharapkan mampu memperkaya khasanah demi menghindari diskriminasi. Sebuah tujuan yang mulia adanya.

Namun yang menjadi persoalan adalah pada tataran pelaksanaannya. Merupakan masalah klasik di negeri ini, ketika segala simbol dan slogan ditulis dengan begitu indah, namun itu hanya sekedar tulisan hampa makna. Keberagaman yang diharapkan menjadi budaya positif perusahaan justru menjadi garis penegas diskriminasi. Dimulai dari fasilitas yang diberikan, allowances, sampai posisi jabatan strategis perusahaan. Pribumi hanya bisa pasrah menanggung murka, sembari tersadar bahwa hidup memang tak adil.

Kejadian lain yang saya alami tepatnya di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta Pusat. Saat itu saya dan teman-teman sedang menunggu jemputan di lobby hotel. Tanpa sengaja mata saya tertuju pada metal detector yang terdapat didepan pintu masuk hotel tersebut dan dijaga dua orang security. Memang sejak aksi-aksi teror bom yang melanda negeri ini dalam kurun waktu 8 tahun terakhir adalah sebuah standar keamanan yang wajib bagi setiap gedung yang ruang publik untuk memeriksa barang bawaan dari setiap pengunjung yang datang. Tidak sengaja, sembari menunggu mobil jemputan, mata saya tertuju untuk mengamati orang-orang yang berlaluan pada metal detector tersebut. Namun ada kejanggalan yang saya lihat di sana, ketika para tamu asing yang masuk ke dalam lobby hotel tersebut, mereka dengan enteng melangkah tanpa mengalami pemeriksaan, sementara ketika yang masuk adalah pribumi, mereka wajib diperiksa sesuai prosedur.

Pada awalnya saya berpikir mungkin tamu asing yang masuk tadi hanya luput saja dari pemeriksaan, namun setelah kurang lebih 5 menit saya berdiri dan mengamati di situ, ternyata memang tidak ada pemeriksaan terhadap mereka. Sebegitu parahkah pribumi Indonesia sehingga harus mendapatkan “perlakuan khusus” dan dicurigai seperti itu? Bukankah SOP yang dibuat pengelola gedung berlaku sama bagi setiap pengunjung gedung? Entahlah, saya tidak berani menduga.

Di zaman globalisasi ini, di saat dunia sudah tak berbatas suku dan warna kulit, di negeri ini masih saja ada perbedaan perlakuan antara asing dan pribumi.

Iseng saya bertanya kepada seorang kawan, mengapa fenomena seperti ini masih terjadi di negeri ini? Mengapa pribumi selalu mengkondisikan diri mereka lebih rendah dari bangsa lain? Sang kawan pun menjawab, semua disebabkan karena mentalitas dari mayoritas masyarakat negeri ini yang sudah hancur akibat terlalu lama menjadi bangsa terjajah sehingga tidak mampu berdiri sama tinggi dengan bangsa lain.

Lama saya menghayati pernyataan singkat sang kawan tersebut, namun akhirnya saya paksakan untuk meng-amin-i pernyataan tersebut. Apakah hidup memang tak adil bagi para pribumi? Entahlah, saya juga tak berani menduga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar