Senin, Juni 29, 2009
Anak Revolusi di Kali Code
dari: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/29/LU/mbm.20090629.LU130707.id.html
Mega lahir dan tumbuh dalam tekanan. Pendiam tapi mulai membuka diri.
Ingatannya berusaha menerawang ke zaman 60 tahun silam, ketika masih berusia dua tahun dan tinggal di Kali Code, Yogyakarta. Tapi ingatannya terbatas. Megawati Soekarnoputri tak cukup punya cerita tentang masa lalu itu. Ketika itu Soekarno, ayah Megawati, dibuang Belanda ke Bangka pada Februari 1949. Bersama ibunya, Fatmawati, Mega tinggal di rumah sempit dengan pintu dan jendela rusak. ”Saya cari rumah itu sampai sekarang enggak ketemu,” kata Megawati kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.
Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri memang lahir dalam kondisi prihatin. Bung Karno dalam Penyambung Lidah Rakyat menceritakan kelahiran anak keduanya dengan dramatis. Ketika beduk tanda magrib ditabuh, 23 Januari, 62 tahun lalu, halilintar di Yogyakarta seperti hendak membelah angkasa. Lampu padam. Atap kamar runtuh. Awan gelap jatuh menjadi hujan deras. Megawati lahir hanya dengan cahaya lilin.
Belum sampai setahun, Juli 1947, Mega kecil diboyong ke sanakemari karena agresi militer Belanda I. Si jabang bayi menjalani masa persembunyian di perkebunan kopi di daerah pegunungan Madiun, Jawa Timur. Bung Karno tak membawa pembantu karena pertimbangan keamanan. Semakin besar rombongan yang dibawa, semakin besar kemungkinan jejak Bung Karno tercium. Si kecil Mega hanya dijaga Fatmawati dan Guntur, ketika itu tiga tahun, sang kakak.
Pengalaman pahit bersama keluarganya terus berlanjut ketika Belanda kembali melancarkan agresinya pada akhir 1948. Bung Karno dibuang ke Bangka. Di sinilah Mega singgah di Kali Code. Dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Fatmawati mengatakan keluarganya tinggal di Jalan Batanawarsa (sekarang Jalan I Dewa Nyoman Oka) selama Bung Karno tak ada. Belanda mengusir Fatmawati dan keluarga dari Gedung Kepresidenan. Fatmawati sekeluarga pindah ke rumah yang dicarikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. ”Sekarang saya tanya ke Sultan tentang rumah itu juga tak tahu,” kata Mega.
Mega kecil hidup selama enam bulan di pinggir Kali Code. Ia pernah sakit panas sampai kejang. Desing peluru menjadi santapan setiap malam. Tentara Belanda juga selalu mengawasi rumah itu karena sering dikunjungi pengawal proklamator yang menjadi gerilyawan. ”Rumah kami sering menjadi sasaran peluru,” tulis Fatmawati.
Awal kelahiran serta pengalaman di pelarian itu membuat Mega sering disebut sebagai ”anak revolusi”. Megawati mengatakan pengalaman sejak bayi telah menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar. Ia satusatunya anak Bung KarnoFatmawati yang lahir di Yogyakarta. Kakaknya, Guntur, serta adikadiknya, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh, lahir di Jakarta. ”Ibu pernah bilang saya mempunyai lambaran nyawa,” kata Mega.
Perang usai. Bung Karno kembali dari Bangka. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Sementara pada 17 Desember 1949. Sebelumnya, keluarga Bung Karno sudah kembali ke Jakarta begitu peringatan 17 Agustus di alunalun Yogyakarta. Mega tumbuh dan memulai babak baru di Istana.
Mega menyebut tempat tinggalnya sebagai kampung Istana. Ia berbaur dengan pekerja Istana mulai dari pelayan hingga pejabat negara. Dalam soal makan, menu keluarga presiden dengan pembantunya biasanya sama. ”Bedanya, kalau yang lain makan satu tahu atau satu tempe, kita bisa lebih,” kata Mega. Pengasuh anakanak Bung Karno, Eyang Citro, mengatakan Mega tak rewel dalam soal makanan. Cukup telur rebus, sayur, tahu, tempe, dan sambal.
Kampung Istana menyediakan segala keperluan Megawati. Guru pun didatangkan ke rumah besar itu. Mega bersama saudaranya Guntur, Rachmawati, dan Sukmawati menjalani pendidikan taman kanakkanak dalam Istana Merdeka. Dalam buku Tujuh Ibu Bangsa, Mega dikutip belajar bersama anak tukang rumput, sopir, nelayan hingga anak direktur kabinet. Di dalam istana, ia sering dipanggil Adis atau Ega.
Mega dan temantemannya belajar di gazebo yang berada di taman antara Istana Negara dan Merdeka. Ketika Mega menjadi presiden pada 20012004, saung itu menjadi ruang untuk menyimpan gamelan dan tempat pegawai Istana berlatih alat musik tradisional itu. Kini gazebo itu sering dipakai kegiatan informal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Guru pertama Mega adalah Sri Pangastuti biasa dipanggil Tuti. Mega cukup luas bergaul dalam lingkungan Istana. Tuti juga tak pernah membedakan status sosial muridnya. Namun hidup dalam tembok Istana sebagai putri presiden membuat ruang geraknya terbatas. Tuti pernah mengatakan keinginannya mengajar Mega dan Guntur bersosialisasi, namun ide itu diprotes abdi dalem.
Atas usul Tuti juga akhirnya Mega sekolah di luar Istana. Fatmawati sempat melarang anaknya belajar di sekolah umum. Tuti beralasan sekolah di luar Istana bisa mengasah interaksi dan sosialisasi. Mega bersekolah di Perguruan Cikini mulai SD hingga SMA.
Dalam suatu perayaan di SD, Mega menjadi panitia sekaligus penjaga stan. Di sinilah terjadi peristiwa Cikini: iringiringan mobil presiden digranat. Rencana pembunuhan terus mengintai Bung Karno. Paling tidak ada 23 upaya pembunuhan Bung Karno. Megawati mengatakan, rentetan peristiwa yang menimpa ayahnya itu membuatnya menjadi lebih waspada dan tabah menerima tekanan. ”Kami tergodok secara alami,” kata Mega.
Selama di Istana, Mega sebenarnya cukup lincah. Dalam biografi Gerak dan Langkah, Mega bermain bola bersama kakaknya Guntur. Juga ikut memanjat pohon dan mengambil buah. Mega juga sering main petak umpet bersama Meutia Hatta, putri Mohammad Hatta yang usianya terpaut dua bulan. ”Kami suka ngumpet di kolong tempat tidur Bung Karno,” kata Meutia.
Meski tergolong aktif, Mega termasuk pendiam, sedikit bicara, dan banyak senyum. Pada 1993 Tempo pernah menulis pengakuan Eyang Citro. ”Dari kecil dulu sampai sekarang ia memang begitu. Lembut dan keibuan,” kata Eyang Citro. Adis suka menanam bunga dan padi.
Kecenderungan Mega yang pendiam itu diakui adiknya, Rachmawati. Mega sering menghabiskan waktu di taman istana sambil menyiram bunga. Rachmawati mengatakan sifat kakaknya itu sudah muncul sejak kecil. ”Saya mulai menari sejak empat tahun,” kata Rachmawati, ”tapi Mega baru tujuh tahun.”
Bung Karno memang melihat Megawati dan Rachmawati memiliki bakat menari. ”Tariannya menggairahkan,” ujar Bung Karno. Mega kerap terpilih menjadi duta kesenian Indonesia dan dikirim ke berbagai negara. Ia pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi NonBlok di Beograd, Yugoslavia, pada 1961.
Mega juga pernah mendapat tugas sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Ia mengibarkan bendera yang Merah Putih yang dijahit Fatmawati di depan Istana Merdeka pada 17 Agustus 1964. Ia berkebaya dengan sanggul. Sebetulnya, ”Saya risi berlamalama dengan busana seperti itu,” katanya.
Dalam Bung Karno dalam Kenangan, Mega pernah bercerita. Suatu hari, ia mengikuti pertemuan di kalangan perempuan dengan Presiden. Bung Karno menyalami ibuibu satu per satu. Ketika menjabat tangan seorang perempuan, muka Bung Karno berubah. Tangan kanannya hinggap di atas kepala ibu yang bersasak tinggi. Bung Karno menekan sasak itu hingga kempis.
Di rumah, Bung Karno memanggil Mega. Ia menjelaskan alasan marah kepada ibu bersasak tinggi itu. Bung Karno mengatakan dandanan ibu itu tak menunjukkan kepribadian nasional.
Selepas SMA pada 1965, Mega diterima di dua kampus sekaligus: Institut Pertanian Bogor dan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Mega sebenarnya tertarik menekuni ilmu psikologi. Namun Bung Karno memintanya kuliah pertanian karena rakyat Indonesia membutuhkan tenaga ahli bidang itu. ”Saya masuk tanpa KKN, lho,” ujar Mega.
Di Bandung, Mega menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, organisasi onderbouw Partai Nasionalis Indonesia. Dua tahun di kampus, Mega dipaksa keluar karena tak mau menandatangani kontrak politik dari rektor Sanusi Harjawinata. Isinya berupa pernyataan bahwa Mega masuk gerakan mahasiswa yang berkiblat pada Partai Nasionalis kelompok Osa MalikiUsep Ranuwidjaja, atau lebih dikenal kelompok sayap kanan.
Mega memutuskan berhenti kuliah. Situasi di Jakarta juga genting. Bung Karno dikucilkan di Bogor. Mega meninggalkan Istana pada 1967 dan tinggal bersama Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Jakarta. ”Kami kembali seperti rakyat biasa,” kata Mega.
Dalam kondisi yang serba sulit, Mega mendapat jodoh. Ia menikah dengan Surindro Suprijarso dan memutuskan tinggal di Madiun. Surindro adalah pilot terbaik lulusan Akademi Angkatan Udara Republik Indonesia. Dari suami pertama ini lahir Mohammad Rizki Pratama dan Mohammad Prananda. Surindro dikabarkan hilang ketika pesawatnya jatuh di perairan Biak pada awal 1970.
Mega sempat menikah dengan Hassan Gamal pada Juli 1972, namun hanya bertahan tiga bulan karena keluarga tak merestui. Status Mega juga belum pasti karena Surindro belum resmi dinyatakan meninggal. Setelah bercerai dengan Hassan, Mega menikah dengan Taufiq Kiemas pada 1973 sampai sekarang. Mereka dikaruniai putri Puan Maharani. ”Mega kelihatannya ingin menjadi ibu rumah tangga,” kata Rachmawati.
Sepeninggal Bung Karno, Guntur bersaudara ingin menjauhi ingarbingar politik. Pada 1978, mereka membuat kesepakatan tak memasuki politik praktis selama Orde Baru masih berkuasa. Pada masa menjelang Pemilu 1982, kesepakatan itu diperbarui. Namun garis tangan berkata lain: menjelang Pemilu 1987, Mega bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia.
Mega terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat setelah pemilu. Posisinya sebagai anak Bung Karno menjadi ”nilai jual” Megawati sehingga memimpin Partai Demokrasi Indonesia pada 1993. Ia semakin meroket ketika partai berlambang banteng ini pecah pada 1998. Mega mendirikan PDI Perjuangan, yang mengantarnya menjadi wakil presiden pada 1999. Dua tahun kemudian dia menjadi orang nomor satu ketika menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, yang mandatnya dicabut Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Saat itulah Megawati kembali ke Istana Merdeka, tempat tinggalnya semasa kecil. Sebagai presiden, ia mengembalikan sebagian interior serba putih agar suasana Istana kembali pada 1960an. Furniture milik mendiang Soekarno dikeluarkan dari gudang, diperbaiki, dipoles dan dipajang kembali.
Erros Djarot, yang mendampingi Mega selama Orde Baru, mengatakan politik diam Mega sengaja dimunculkan. ”Ibarat keris, semakin tak bisa dijamah, semakin misterius,” katanya. Erros, yang semula menjadi simpatisan PDIP, belakangan mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, dan kini bergabung dalam koalisi Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar