Rabu, November 04, 2009
Belajar Merantau
:untuk adikku tersayang yang sedang belajar MERANTAU.
minggu lalu, saya membeli sebuah novel berjudul Negara 5 Menara "Man Jadda Wajada" (siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil), belum selesai saya membacanya memang, namun sebuah syair Imam Syafii di halaman depan novel tersebut cukup berkesan bagi saya.
berikut adalah kutipan syair tersebut:
"orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan"
sebagai lelaki minang, saya sendiri merasakan dan mengalami hal tersebut. hampir 9 tahun sudah saya meninggalkan ranah minang untuk sekedar mencari ilmu dan mencari nafkah. adalah sebuah tuntutan (kalau tidak mau dibilang kutukan) bagi para lelaki minang untuk pergi merantau. karena secara kultural, lelaki minang diposisikan sangat lemah. ditambah lagi, karena memang alam minangkabau tidak mengandung banyak material yang bisa digarap dan digali sebagai sumber kehidupan yang lebih baik.
keunikan ini berakar dari kultur matrialineal yang hingga kini masih dianut oleh masyarakat Minangkabau. Salah satu keunikan itu adalah kaum lelakinya tidak memiliki hak warisan atas pusaka turunan. yang berhak menerima warisan pusaka dari orangtuanya adalah kaum perempuan. Selain dari itu, lelaki minang juga tidak menurunkan suku (marga)-nya kepada anaknya sendiri, melainkan kepada anak saudara perempuannya atau kemenakan.
jika pun seorang lelaki berdiam di rumah orangtuanya setelah berkeluarga dan menggarap sawah ladang orang tuanya sendiri, itu bukan berarti ia dapat menurunkan warisan itu kepada anak-anaknya kalau ia meninggal nanti, sekalipun lelaki itu tidak memiliki saudara perempuan seayah-seibu, toh masih ada saudara perempuan sepupu untuk menerima warisan itu. malah, tinggal dan menggarap sawah ladang di rumah dan tanah orangtua sendiri, di tanah Minang adalah aib.
sebenarnya, bagi kaum lelaki yang ditakdirkan lahir sebagai lelaki dari etnis Minangkabau, bukan tidak berdampak atas perlakuan adat yang tidak kenal kompromi itu. jika diteliti secara cermat, nuansa melangkolis begitu kental ditemukan di dalam sastra tradisi masyarakatnya seperti di dalam pantun, kaba dan nyanyian, baik yang masih lisan maupun yang sudah tertulis di dalam aksara Jawi atau pun Melayu.
nuansa melankolis itu lebih merupakan dendam yang laten ketimbang protes. Dampak dari dendam laten itu berujud menjadi perilaku merantau yang pada dasarnya adalah pencarian harga diri. jika tidak ada yang memiliki di kampung halaman sendiri, di luar tanah Minang pasti ada, sekurang-kurangnya pergi belajar dalam arti yang luas untuk mendapatkan martabat sebagai lelaki. agaknya, itu merupakan salah satu faktor mengapa orang Minang sangat concern dengan dunia pendidikan.
tentang kegelisahan anak lelaki yang mulai dewasa di Minangkabau, terlukis dalam pantun "merantau" yang sangat lazim dipakai oleh tukang kaba (tukang cerita lisan) melalui rebab, saluang, atau teater randai adalah seperti berikut:
"karatau madang di hulu
berbuah berbunga belum
merantau bujang dahulu
di rumah berguna belum"
merantau sejak usia muda pada dasarnya adalah belajar menjadi orang. belajar dari manusia-manusia yang ditemui dalam perantauan itu. belajar memahami manusia dan kultur baru di tempat hidup dan bertinggal. di sinilah, pesantren hidup yang menempa kita menjadi manusia dewasa seutuhnya.
adikku sayang, kau memang bukan lelaki. tetapi pilihan hidupmu, menuntutmu untuk merantau. maka belajarlah merantau, belajarlah dari kearifan alam, dan berubahlah jika itu memang diperlukan. layaknya pepatah: "alam takambang jadi guru" dan "sakali aie gadang, sakali tapian barubah". hidup harus tetap dilanjutkan, sepahit apapun jalannya. tetaplah berpegang teguh pada tali Allah, karena memang hanya Allah-lah sebaik-baik penolong.
Selamat Merantau dan Melanjutkan Hidup, Adikku. InsyaAllah, aku akan selalu ada untukmu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar