Pendidikan merupakan hal yang paling essensial bagi seluruh bangsa di dunia
Tanpa pendidikan takkan pernah ada kemerdekaan suatu bangsa
Tanpa pendidikan manusia akan punah (Mansyur Fakih)
Beberapa waktu yang lalu, penulis sangat tertarik ketika membaca sebuah surat kabar nasional yang ketika itu mengangkat tentang kebijakan Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional yang akan memberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004 ini. Karena sangat jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum 1994 yang lebih berorientasi pada parameter standar materi, Kurikulum Berbasis Kompetensi ini lebih menuntut peran aktif guru karena parameter keberhasilan justru terletak pada kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik. Dalam kaitan ini, kurikulum yang menjadi pegangan dalam proses belajar-mengajar praktis hanya sebagai acuan dasar. Guru – tentu saja dibantu oleh pihak sekolah dan stakeholders pendidikan di satuan pendidikan setempat harus bisa menyusun silabus pengajaran berdasarkan kebutuhan anak didik. Dengan kata lain, kurikulum ini hanya sebagai kerangka dasar yang harus diterjemahkan lebih jauh oleh guru dengan melihat potensi masing-masing anak.
Kendati demikian, dalam aktivitas di kelas atau dimanapun tempatnya sejauh masih dalam lingkup interaksi belajar-mengajar, guru bukanlah fokus dari kegiatan belajar. Seperti halnya metode pengajaran yang dikenal dengan istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), yang begitu populer pada beberapa tahun lalu, di sini pun guru lebih berperan sebagai fasilitator. Sebaliknya, peserta didik sebagai subjek dalam proses belajar-mengajar diberi keleluasaan yang sangat luas untuk menentukan capaian kompetensi yang harus ia raih. Peserta didik jugalah yang harus aktif menyampaikan ide, mencari solusi atas masalah yang dihadapi, dan menentukan langkah-langkah berikutnya. Dalam kaitan ini guru hanya berperan sebagai pembimbing, sekaligus pemberi motivasi kepada anak dalam belajar.
Implikasi dari penerapan KBK tentu saja menuntut perubahan paradigma , baik dalam pengajaran meupun dalam persekolahan sebagai sebuah sistem. Perubahan itu tidak cuma soal konsep, metode dan strategi guru dalam mengajar, tetapi juga menyangkut soal pola pikir, filosofi, dan komitmen pada tugas pendidik. Tak cuma guru, pihak sekolah dan stakeholders pendidikan pun dituntut memiliki paradigma baru dalam sistem persekolahan yang proses pembelajarannya mengacu pada KBK. Sikap sekolah (baca : kepala sekolah dan yayasan pada lembaga pendidikan swasta) yang selama ini berperan sebagai penentu segala kebijakan yang ada di lingkungan belajar harus mulai ditinggalkan. Para stokeholders pendidikan pun tidak bisa hanya lepas tangan, menyera hkan segala urusan kependidikan cuma kepada guru dan pihak sekolah. Ketiga unsur ini harus saling isi, termasuk dalam proses penyusunan silabus pendidikan yang berbasis pada peserta didik.
Berkaca pada tahun 2003 yang lalu, dunia pendidikan nasional mengalami kemerosotan yang sangat signifikan. Pendidikan Indonesia makin jauh tertinggal dibanding negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Begitu juga dengan pendidikan Sumatera Barat yang pada tahun lalu mendapat sorotan nasional dengan sangat rendahnya tingkat kelulusan peserta didik pada Ujian Akhir Nasional yang mencapai angka 30%. Ada apa sebenarnya dibalik semua ini. Apakah sistem pendidikannya yang salah atau malah makin menurunnya sumber daya manusia Sumatera Barat. Hal ini, sangat kontras sekali dengan beberapa tahun yang lalu dimana dunia pendidikan Sumatera Barat menjadi primadona.
Dalam hal paradigma yang dipegang sebagian besar SMU di Sumatera Barat yang hanya berpatokan pada jumlah peserta didik yang diterima di perguruan tinggi negri favorit tanpa pemberian bekal yang cukup kepada peserta didik berdampak pada beberapa tahun terakhir yaitu para lulusan SMU di Sumatera Barat kalah bersaing dengan lulusan-lulusan SMU daerah lain, apalagi dengan lulusan-lulusan SMU yang berasal dari Pulau Jawa. Kelemahan yang sangat jelas tersebut diantaranya pola pikir para pelajar Sumatera Barat yang tidak kritis lagi, kurangnya penguasaan bahasa asing, kurangnya sosialisasi serta rendahnya kemampuan leadership dan manjemen. Hal ini disebabkan karena sebagian besar SMU di Sumatera Barat hanya mementingkan prestasi belajar peserta didik (dan itupun masih mengecewakan), dan menges ampingkan kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler sebagai sarana pengembangan kepribadian dari peserta didik. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin nantinya Sumatera Barat hanya mencetak pelajar-pelajar yang individualis dengan kualitas yang rendah.
Selain itu, masih banyaknya anak usia sekolah yang belum menikmati pendidikan di Sumatera Barat juga akan menjadi masalah sosial di kemudian hari nantinya. Hal ini juga harus mendapat sorotan penting dari pemerintah daerah selaku pemegang kekuasaan di daerah. Dengan makin banyaknya sekolah-sekolah swasta di Sumatera Barat, di satu sisi memang sangat menguntungkan karena dapat memenuhi standar mutu pendidikan, tetapi di sisi lain peluang masyarakat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan yang baik semakin kecil. Alangkah baiknya, pemerintah daerah juga meningkatkan pembangunan sekolah-sekolah negri dengan biaya terjangkau dan kualitas yang baik.
Sekarang, muncullah pertanyaan apakah dunia pendidikan Sumatera Barat mampu melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan mampu bersaing dengan daerah lain dalam menciptakan insan-insan pendidikan yang berkualitas. Tentunya hal tersebut tidak akan mudah terlaksana tanpa adanya kerja keras dari semua elemen pendidikan dan dukungan masyarakat. Semoga cita-cita pendidikan yang sama-sama kita inginkan tersebut dapat tercapai.
Tanpa pendidikan takkan pernah ada kemerdekaan suatu bangsa
Tanpa pendidikan manusia akan punah (Mansyur Fakih)
Beberapa waktu yang lalu, penulis sangat tertarik ketika membaca sebuah surat kabar nasional yang ketika itu mengangkat tentang kebijakan Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional yang akan memberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004 ini. Karena sangat jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum 1994 yang lebih berorientasi pada parameter standar materi, Kurikulum Berbasis Kompetensi ini lebih menuntut peran aktif guru karena parameter keberhasilan justru terletak pada kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik. Dalam kaitan ini, kurikulum yang menjadi pegangan dalam proses belajar-mengajar praktis hanya sebagai acuan dasar. Guru – tentu saja dibantu oleh pihak sekolah dan stakeholders pendidikan di satuan pendidikan setempat harus bisa menyusun silabus pengajaran berdasarkan kebutuhan anak didik. Dengan kata lain, kurikulum ini hanya sebagai kerangka dasar yang harus diterjemahkan lebih jauh oleh guru dengan melihat potensi masing-masing anak.
Kendati demikian, dalam aktivitas di kelas atau dimanapun tempatnya sejauh masih dalam lingkup interaksi belajar-mengajar, guru bukanlah fokus dari kegiatan belajar. Seperti halnya metode pengajaran yang dikenal dengan istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), yang begitu populer pada beberapa tahun lalu, di sini pun guru lebih berperan sebagai fasilitator. Sebaliknya, peserta didik sebagai subjek dalam proses belajar-mengajar diberi keleluasaan yang sangat luas untuk menentukan capaian kompetensi yang harus ia raih. Peserta didik jugalah yang harus aktif menyampaikan ide, mencari solusi atas masalah yang dihadapi, dan menentukan langkah-langkah berikutnya. Dalam kaitan ini guru hanya berperan sebagai pembimbing, sekaligus pemberi motivasi kepada anak dalam belajar.
Implikasi dari penerapan KBK tentu saja menuntut perubahan paradigma , baik dalam pengajaran meupun dalam persekolahan sebagai sebuah sistem. Perubahan itu tidak cuma soal konsep, metode dan strategi guru dalam mengajar, tetapi juga menyangkut soal pola pikir, filosofi, dan komitmen pada tugas pendidik. Tak cuma guru, pihak sekolah dan stakeholders pendidikan pun dituntut memiliki paradigma baru dalam sistem persekolahan yang proses pembelajarannya mengacu pada KBK. Sikap sekolah (baca : kepala sekolah dan yayasan pada lembaga pendidikan swasta) yang selama ini berperan sebagai penentu segala kebijakan yang ada di lingkungan belajar harus mulai ditinggalkan. Para stokeholders pendidikan pun tidak bisa hanya lepas tangan, menyera hkan segala urusan kependidikan cuma kepada guru dan pihak sekolah. Ketiga unsur ini harus saling isi, termasuk dalam proses penyusunan silabus pendidikan yang berbasis pada peserta didik.
Berkaca pada tahun 2003 yang lalu, dunia pendidikan nasional mengalami kemerosotan yang sangat signifikan. Pendidikan Indonesia makin jauh tertinggal dibanding negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Begitu juga dengan pendidikan Sumatera Barat yang pada tahun lalu mendapat sorotan nasional dengan sangat rendahnya tingkat kelulusan peserta didik pada Ujian Akhir Nasional yang mencapai angka 30%. Ada apa sebenarnya dibalik semua ini. Apakah sistem pendidikannya yang salah atau malah makin menurunnya sumber daya manusia Sumatera Barat. Hal ini, sangat kontras sekali dengan beberapa tahun yang lalu dimana dunia pendidikan Sumatera Barat menjadi primadona.
Dalam hal paradigma yang dipegang sebagian besar SMU di Sumatera Barat yang hanya berpatokan pada jumlah peserta didik yang diterima di perguruan tinggi negri favorit tanpa pemberian bekal yang cukup kepada peserta didik berdampak pada beberapa tahun terakhir yaitu para lulusan SMU di Sumatera Barat kalah bersaing dengan lulusan-lulusan SMU daerah lain, apalagi dengan lulusan-lulusan SMU yang berasal dari Pulau Jawa. Kelemahan yang sangat jelas tersebut diantaranya pola pikir para pelajar Sumatera Barat yang tidak kritis lagi, kurangnya penguasaan bahasa asing, kurangnya sosialisasi serta rendahnya kemampuan leadership dan manjemen. Hal ini disebabkan karena sebagian besar SMU di Sumatera Barat hanya mementingkan prestasi belajar peserta didik (dan itupun masih mengecewakan), dan menges ampingkan kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler sebagai sarana pengembangan kepribadian dari peserta didik. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin nantinya Sumatera Barat hanya mencetak pelajar-pelajar yang individualis dengan kualitas yang rendah.
Selain itu, masih banyaknya anak usia sekolah yang belum menikmati pendidikan di Sumatera Barat juga akan menjadi masalah sosial di kemudian hari nantinya. Hal ini juga harus mendapat sorotan penting dari pemerintah daerah selaku pemegang kekuasaan di daerah. Dengan makin banyaknya sekolah-sekolah swasta di Sumatera Barat, di satu sisi memang sangat menguntungkan karena dapat memenuhi standar mutu pendidikan, tetapi di sisi lain peluang masyarakat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan yang baik semakin kecil. Alangkah baiknya, pemerintah daerah juga meningkatkan pembangunan sekolah-sekolah negri dengan biaya terjangkau dan kualitas yang baik.
Sekarang, muncullah pertanyaan apakah dunia pendidikan Sumatera Barat mampu melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan mampu bersaing dengan daerah lain dalam menciptakan insan-insan pendidikan yang berkualitas. Tentunya hal tersebut tidak akan mudah terlaksana tanpa adanya kerja keras dari semua elemen pendidikan dan dukungan masyarakat. Semoga cita-cita pendidikan yang sama-sama kita inginkan tersebut dapat tercapai.
Bang Jenggot
Jogjakarta, 2 Januari 2004
Diterbitkan di Padang Ekspres pada 4 Januari 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar