Senin, April 28, 2008

Kopkamtib, sejarahmu kini...

POWER TENDS TO CORRUPT; ABSOLUTE POWER ; CORRUPTS ABSOLUTELY
(Lord Acton)

Sore itu suasana begitu muram, hujan deras baru saja mengguyur Jakarta. Beberapa Jenderal tampak tegang keluar dari ruang tamu, sambil bercakap-cakap pelan dan menyalakan rokok mereka berjajar menanti mobil yang menjemput di pelataran parkir.

Sekilas terdengar dari percakapan mereka, bahwa pemimpin tertinggi negara amat gusar atas ketidakbecusan beberapa pejabat pemerintahan mengatasi pungutan liar yang merajalela di negeri ini.

Tak berapa lama kemudian mereka semua sudah sudah meninggalkan tempat itu.

Suasana jalan Cendana semakin sepi ketika sayup-sayup suara azan magrib mulai berkumandang. Seluruh Jenderal dan petinggi pemerintahan Kabinet Pembangunan II yang hadir di pertemuan mungkin sudah sampai di kediaman masing-masing. Hanya tinggal seorang yang masih berada didalam, namun tidak lama keluar dan segera berlari kecil masuk ke mobil yang sudah siap menunggu. Wajahnya mencoba tersenyum namun terlihat tegang, rupanya Laksamana TNI Sudomo baru menerima tugas berat dari Presiden Soeharto.

Keesokan harinya tanggal 7 September 1977 Instruksi Presiden tentang Operasi Tertib dikeluarkan.

Rangkaian upaya besar Bangsa Indonesia dalam pemberantasan Korupsi di era Orde Baru bertambah, setelah dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi 1967 yang kemudian dianggap gagal, dan Komite Anti Korupsi (KAK) tahun 1970 yang juga tidak efektif.

Selasa pagi 21 September 1977 di Binagraha, Laksamana TNI Sudomo memberikan keterangan seputar pelaksanaan Operasi Tertib yang intinya tentang pemberantasan korupsi, manipulasi dan pungutan liar dengan menekankan pada pemberantasan segala bentuk pungutan liar yang tidak berdasarkan pada peraturan, memperbaiki serta meningkatkan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintahan.

Disamping itu, melalui operasi tertib diupayakan pula menegakkan dan meningkatkan kesadaran nasional dan disiplin nasional baik aparatur pemerintahan maupun masyarakat.

Di Subang Jawa Barat, Ahmad Supriadi (39 thn) bersama-sama dengan para supir truk pengangkut bahan pokok sedang beristirahat di sebuah warung kopi mendengar kabar itu dari RRI. Mereka menyambut gembira kabar itu disertai harapan pungli di jembatan timbang yang marak akan hilang segera.

Kabar ini tidak hanya disambut dengan antusiasme tinggi oleh masyarakat kebanyakan yang berharap adanya perubahan, tetapi juga oleh pegawai negeri sipil yang kerap gajinya disunat. Karena penertiban ini mencakup penghapusan imbal jasa liar untuk pemberian ijin, kenaikan pangkat dan penguangan SKO termasuk pungutan tidak sah oleh instansi termasuk pemotongan gaji.

Beberapa waktu kemudian Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana TNI Sudomo mengumumkan perluasan wilayah kerja Opstib hingga keseluruh propinsi di Indonesia menggunakan satuan tugas Kopkamtib. Kabarnya 200 Milyar Rupiah (Kurs 1 US$ Rp. 1.850,-) keuangan negara dapat diselamatkan.

Dihari-hari selanjutnya hampir setiap koran nasional memberitakan sepak terjang Tim Opstib menggempur (baca : sidak) jembatan timbang, kantor bea cukai, pelabuhan dan lain-lain.

Waktu berganti waktu, perekonomian nasional kian memanas. Bogasari tumbuh pesat namun Yayasan Dharma Putera Kostrad sebagai penerima 20% laba dicoret dari akte pendirian dialihkan saham dan peruntukannya, Bisnis kehutanan kian marak ditunjang oleh kewajiban setor dana reboisasi, perbankan kian berkembang dan beberapa persen hasil bersih laba bank pemerintah wajib disetor ke yayasan dibawah naungan Presiden, kemudian tumbuhnya perusahaan-perusahaan baru milik putera puteri Presiden.

Berita tentang pungli dan Opstib akhirnya meredup, kalah oleh berita gemerlap pertumbuhan pembangunan, HPH, industri dan perbankan. Padahal 1.127 kasus berhasil diungkap dengan melibatkan 8.026 orang. Tanpa alasan yang cukup jelas, Maret 1981 Opstib dibubarkan.

Tahun-tahun berikutnya ditandai dengan mengguritanya konglomerasi, penggusuran lahan yang semena-mena tanpa penggantian yang adil, pembangunan lapangan golf dimana-mana, naik turunnya industri perbankan dan mulai masuknya putera puteri Soeharto ke industri ini, jalan tol, industri mobil nasional, sepatu nasional, TV swasta, BPPC, labelisasi miras, dan lain lain.

Setelah itu hampir tidak pernah ada lagi upaya pemberantasan korupsi dan pungutan liar yang gegap gempita. Praktis setelah tahun 1981 hingga tumbangnya rezim Soeharto Mei 1998 justru Korupsi, Kolusi dan Nepotisme kian marak dan tidak terbendung sama sekali.

Padahal, sejarah mencatat upaya pemberantasan korupsi diawal Orde Baru cukup baik namun kekuasaan memang menggiurkan.

Sejarawan Inggris akhir abad 19, Lord Acton mengatakan “Power tends to corrupt”.

32 Tahun berkuasa melalui 6 kali Pemilu adalah bentuk “Power” yang luar biasa. Dan catatan sejarah yang berulang mestinya dianggap luar biasa juga, tapi kita tidak pernah belajar dari sejarah.



Dedie A. Rachim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar