Senin, Januari 11, 2010

Publisitas dan Sebuah Pelajaran Berharga dari Tan



Ada yang berpikir menjadi terkenal dan dikenal itu adalah tujuan hidup banyak orang. Mereka berpikir adalah suatu kebanggaan ketika hasil karya maupun perbuatannya diakui dan diketahui oleh semua orang. Bahkan mungkin hanya lewat sekedar sensasi atau berita miring, manusia rela membuka dirinya untuk umum. Tidak ada yang salah dalam hal itu. Dan akupun maklum dan menerima pendapat seperti itu.

Adalah sebuah diskusi tak penting di sela-sela waktu menunggu adzan magrib dengan seorang kawan beberapa hari yang menginspirasiku untuk menuliskan hal ini. Sang kawan tiba-tiba bertanya tentang apa pentingnya publisitas? dan mengapa semua orang ingin terkenal?

Agak unik memang pertanyaan ini, atau mungkin terkesan sangat retoris. Aku yakin dia sudah punya jawaban sendiri tentang hal ini. Namun sebagai lawan bicara yang baik dan menghargai, kucoba meladeni diskusi ini. Bagiku, publisitas itu bisa menjadi penting, bisa menjadi tidak penting. Tergantung pada konteksnya. Norma-norma dan ajaran agama sudah banyak mengajarkan tentang hal ini.

Nampaknya sang kawan mulai terangsang mendengar sedikit jawabanku, sang kawan terlihat sedikit penasaran, lalu bertanya lebih jauh.
"Coba jelaskan apa maksudnya tergantung konteks?"

Dengan santai, akupun mencoba menjelaskan lebih lanjut.
"Iya. menurutku, segala publisitas itu sah-sah saja selama segala informasi itu benar dan dengan tujuan baik untuk kemaslahatan. Agama kita mengajarkan bahwa sampaikanlah kebenarannya itu walau cuma satu ayat. Namun tetap diperhatikan, informasi dan segala publisitas itu bukanlah sebuah fitnah atau kebohongan yang akan menyesatkan banyak pihak". (gaya bicaraku mulai tidak benar, sok intelek)

"Hmm... iya, bro. Aku sependapat. Memang semestinya begitu. Namun apa yang kita lihat sekarang? Segala informasi berseliweran di media, semua saling tumpah tindih sampai-sampai si pembuat beritapun bingung sudah memberitakan apa saja". Dia menimpali dengan bersemangat.

(Dalam hatiku, aku mulai menangkap arah pembicaraannya. Dia mencoba untuk mengkritisi kebebasan pers akibat banyak rumor di tengah-tengah masyarakat akibat banyaknya pemberitaan yang ada).

Aku mencoba menimpali.
"Yah, aku faham maksudmu, kawan. Cuma kita tidak bisa menyalahkan si pembuat berita begitu saja, apapun itu walau banyak kepentingan dalam sebuah industri media, tugas mereka adalah menyampaikan berita. Memang sedikit kontradiktif dengan ucapanku sebelumnya bahwa semua orang harus belajar menyampaikan segala informasi dengan benar, namun untuk soal ini, kita tidak punya kekuatan untuk melawan derasnya informasi yang penuh kepentingan itu. Semua tergantung kita, tergantung pada kemampuan kita menganalisa dan mengambil benang merah dari segala informasi tersebut. Di sini dibutuhkan ketajaman daya pikir dan logika. Hampir semua kebenaran yang ada di atas bumi ini, bisa dirunutkan alur logisnya, kecuali hal-hal ghaib milik Yang Maha Kuasa yang mau ga mau harus kita percayai". (aku merasa semakin tua dengan jawabanku tadi).

Sang kawan manggut-manggut seperti burung balam milik Alm. Kakekku dulu. Mulutnya sedikit manyun ke depan dan keningnya sedikit berkerut. Lalu dia melanjutkan pertanyaannya.
"Lalu apa pendapatmu mengenai fenomena banyaknya orang-orang yang ingin menjadi terkenal akhir-akhir ini? Sepertinya semua orang ingin jadi selebritis. Mulai dari anggota DPR, Penegak Hukum, sampai anak-anak muda di kampungpun ingin jadi artis dan muncul di media."

"Wah, kalau soal ini aku tak bisa menjawab, kawan. Mungkin lebih tepatnya, ente sendiri yang bertanya yang bersangkutan. Saya tidak punya kewenangan untuk berspekulasi dan menyebar fitnah baru dalam hal ini. haha...". Jawabku sambil sedikit tertawa manis padanya.

Diapun ikut tertawa terbahak.
"Iya... Iya... Benar juga kau, bro. Lalu, untukmu sendiri seberapa penting untuk menjadi terkenal itu?". sambungnya.

"Tidak penting bagiku". jawabku enteng.

"Maksudnya?". dia sedikit penasaran.

"Iya. Tidak penting menjadi dikenal atau tidak. Tidak penting orang tahu siapa dirimu dan apa yang kau perbuat. Yang terpenting, apa yang telah kau lakukan adalah langkah nyata dan bermanfaat langsung bagi banyak orang. Sekecil apapun peran itu. Dan aku memilih untuk tidak dikenal". ujarku santai.

"Hahaha.. Ok, bro. I see...". ucapnya.

Seketika rekaman adzan magribpun berkumandang, dan kami berduapun bersegera mengambil wudhu untuk kemudian menunaikan shalat magrib berjamaah.

*****

Perbincangan santai sore itu, terbawa sampai malam dalam pikiranku. Seketika teringat akan seorang sosok yang sangat kukagumi selama ini. Dia adalah Tan Malaka. Sosok kecil yang revolusioner itu. Aku mengenalnya lewat beberapa tulisannya, antara lain: "Naar de Republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia), "Madilog", "Massa Aksi", dan Trilogi "Dari Penjara ke Penjara".

Tan Malaka adalah seorang putra terbaik bangsa ini yang sangat sedikit di kenal, karena buku-buku sejarah di jaman Orde Lama dan Orde Baru seolah ingin menghapus nama dan segala perannya dalam perjalanan bangsa ini. Tan Malaka adalah sosok manusia yang ikhlas dan penuh dedikasi atas segala perjuangannya.

Tan Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok.

Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein.

Terkait nama Ilyas Hussein tersebut, dalam sebuah film dokumenter "Gus Dur", Gus Dur bercerita bahwa pernah di masa kecilnya, saat itu ayah Gus Dur (KH. Wahid Hasyim) menjadi Menteri Agama di zaman Presiden Soekarno, ada seorang tua bertubuh kecil dan mengaku bernama Kyai Ilyas Hussein dari Banten sering bertamu ke rumah mereka di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dan setiap tamu itu datang, Ibu Gus Dur selalu sibuk mempersiapkan makanan dan begitupun Sang Ayah akan menyambutnya dengan riang gembira. Gus Dur kecil sering sekali memperhatikan pemandangan seperti itu setiap orang itu datang. Hingga pada suatu hari, ketika Kyai Ilyas Hussein itu tidak pernah datang lagi, Gus Dur-pun bertanya tentang jati diri orang tersebut. Dan dijawablah oleh sang ayah, bahwa orang tersebut adalah Tan Malaka. Orang besar yang tak pernah dikenal.

Sungguh menarik dan menginspirasi betapa tulusnya perjuangan seorang Tan. Ia tak pernah berharap dikenal, apalagi dipuji. Dialah pahlawan yang sebenarnya. Pikirannya jauh melampaui zamannya, ini terbukti dari buku "Naar de Republiek Indonesia" yang ditulisnya pada tahun 1925, jauh hari sebelum Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan para Bapak Bangsa lainnya memikirkan nama negara kita adalah Republik Indonesia.

Satu kesimpulan kecil, belajar banyaklah dari Tan! Berbuatlah, tanpa berharap akan terkenal. Karena pejuang sejati pasti akan selalu dikenang sampai akhir zaman.

Bang Jenggot,
Batavia Darusysyaitan, 11 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar